Beritasantai.com | Kenapa Kita Sering Dibilang Kepo? Ini Asal-Usul Kata Kepo. Pernah gak, lagi cerita setengah kalimat, terus ada temen langsung nyeletuk, “Lanjut dong, terus abis itu lo ngapain?” Terus kita cuma bisa jawab: “Ih, kepo amat sih lo!”
Yap, kata sakti lima huruf ini udah jadi bagian wajib dari kamus harian netizen +62. Tapi pernah kepikiran gak sih, dari mana asalnya kata “kepo”? Kenapa dia bisa nempel di mulut kita layaknya sambel di pecel ayam?
Daripada nebak-nebak sambil overthinking, yuk kita kulik bareng sejarah kata “kepo”. Siap-siap, karena ceritanya lebih panjang dari utang temen yang gak kunjung dibayar.
“Kepo” Itu Bukan Bahasa Gaul Sembarangan
Oke, mari mulai dari dasar. Kata “kepo” bukan ciptaan anak TikTok, bukan juga dari Bahasa Inggris (walau kadang feels-nya mirip “curious” atau “nosy”). Ternyata, kata ini punya akar budaya dari dialek Hokkien, sebuah bahasa daerah Tionghoa yang banyak digunakan di Singapura, Malaysia, dan juga komunitas Tionghoa di Indonesia.
Dalam bahasa Hokkien, ada kata “kaypoh” (atau “kè-po” dalam tulisan romanisasi Tionghoa) yang artinya kurang lebih:
“orang yang suka ikut campur, pengin tahu urusan orang lain, padahal gak diminta.”
Dan entah kenapa (atau justru karena sangat cocok dengan karakter +62?), kata ini langsung diadopsi dengan penuh cinta oleh masyarakat Indonesia, dipermak sedikit, dan voila: jadilah “kepo.”
Dari Dialek Jadi Dunia Maya
Awalnya, penggunaan kata ini memang masih terbatas di komunitas Tionghoa dan masyarakat urban. Tapi saat internet mulai merajalela, “kepo” mulai muncul di forum-forum legendaris seperti Kaskus, kemudian menyebar ke Twitter, Facebook, dan akhirnya jadi properti publik netizen Instagram dan TikTok.
Dan sesuai hukum netizen Indonesia:
Kalau ada istilah baru yang lucu, unik, dan gampang diucapkan — dijamin langsung viral.
Apalagi “kepo” punya daya tarik universal:
- Cocok dipakai buat sindiran halus.
- Bisa jadi bahan bercanda.
- Dan bisa banget dipakai buat ngeles pas kita ditanya balik.
Contohnya:
Temen: “Kok lo tahu si Andi putus ya?”
Lo: “Ih… gue sih gak kepo, tapi kan keliatan dari story.”
Uhuk.
Kepo Level Maksimum: Dari Penasaran ke FBI Mode
Yang unik dari kata “kepo” adalah skalanya fleksibel. Bisa dipakai buat hal kecil kayak:
- “Eh, lo kemarin makan di mana sih? Enak gak tuh?”
Tapi bisa juga buat yang levelnya udah hampir investigasi kriminal:
- “Lo bilang lembur, tapi kok jam 9 ada di story cewek lain? Itu siapa? Di mana? Kenapa bajunya sama kayak yang waktu di postingan lo bulan lalu?”
Kalau udah sampai tahap ini, itu bukan kepo biasa. Itu udah masuk wilayah FBI, CIA, dan detektif swasta lokal.
Fenomena kepo ini bahkan jadi budaya tersendiri di internet. Ada akun gosip, akun lambe-lambean, akun info tetangga viral — semua hidup dari energi kepoan kolektif warga +62 yang gak ada habisnya.
Kenapa Kita Suka Banget “Kepo-in” Orang?
Pertanyaan ini sebenarnya bisa dijawab dari dua sisi:
1. Karena Kita Manusia
Yap, manusia itu makhluk sosial dan juga makhluk penasaran. Kita senang tahu kabar orang, apalagi yang lagi rame. Bukan karena jahat, tapi karena… ya pengin tahu aja.
Kadang malah lebih semangat ngulik masalah orang daripada ngurus hidup sendiri (ups!).
2. Karena Medsos Buka Semua Pintu
Dulu, kepo itu butuh usaha: nanya ke tetangga, ngintip dari balik gorden, atau pura-pura beli terasi biar bisa lihat-lihat.
Sekarang? Cukup stalking akun, buka highlight story, scroll komenan, dan…
Tadaaa! Hidup orang langsung terbuka kayak jendela kamar kos.
Dan yang lebih asyik, kita bisa kepo sambil rebahan dan makan ciki.
Kepo yang Sehat vs Kepo yang Toxic
Meski seru, kepo juga punya dua sisi koin. Gak semua kepoan itu harmless. Kadang, kalau udah terlalu jauh, bisa jadi toxic.
🟢 Kepo Sehat:
- Nanya karena peduli.
- Stalking demi kepastian (buat cari tahu apakah dia beneran single).
- Ngulik info buat bantu temen yang lagi butuh.
🔴 Kepo Toxic:
- Maksa tahu hal pribadi orang yang gak mau cerita.
- Sebar-sebar gosip tanpa fakta.
- Komentar nyinyir setelah tahu urusan orang.
Ingat, gak semua yang bisa kita akses harus kita urus. Kalau udah mulai bikin orang gak nyaman, mending rem dulu, ya bestie.
Kepo vs Peduli: Tipis Tapi Beda
Sering kali kita dibikin bingung: ini kepo atau peduli, sih?
- Peduli itu datang dari empati.
- Kepo itu murni dari rasa ingin tahu.
Contoh:
Teman sakit → kita nanya kabar karena pengin bantu = peduli.
Mantan punya pacar baru → kita stalk IG pacarnya, tonton semua highlight, zoom-in fotonya = kepo (banget).
Gak dosa sih, tapi hati-hati jangan kebablasan. Apalagi kalau akhirnya malah sakit hati sendiri, terus bilang, “Kenapa sih gue buka profil dia?”
Jawabannya? Karena lo… kepo.
Kepo di Budaya Pop dan Dunia Hiburan
Kata “kepo” bahkan udah masuk ke ranah hiburan:
- Jadi punchline komedi di stand-up.
- Muncul di dialog sinetron.
- Sampai jadi judul konten YouTube seperti “Kepo-in Rumah Artis”, “Kepoin Isi Tasnya”, “Kepo Banget Sama Kisah Cintanya”, dan seterusnya.
Media dan kreator digital pun sadar: kepo itu jualan. Karena di situlah rasa penasaran netizen bisa dimonetisasi.
Semakin orang pengin tahu, semakin banyak klik dan views.
Welcome to the business of kepoan!
Jadi… Kepo Itu Salah Gak, Sih?
Jawabannya: enggak juga.
Kepo itu wajar, manusiawi, dan kadang seru. Tapi semua ada batasnya. Jangan sampai:
- Jadi nyusahin orang.
- Langgar privasi.
- Atau malah jadi bahan gosip yang gak berdasar.
Kepo itu kayak sambal. Sedikit bikin nagih. Kebanyakan bikin sakit perut.
Jadi kepoin boleh, asal sopan dan tahu waktu. Kalau udah mulai ngerasa “eh, ini urusan orang dan dia gak nyaman”, ya tarik diri dulu.
Gini Intinya! Dunia Tanpa Kepo Itu Hambar, Tapi…
Bayangkan dunia tanpa orang kepo:
- Gak ada gosip,
- Gak ada drama,
- Gak ada konten viral.
Ya… mungkin lebih damai, tapi juga lebih sepi. Karena dalam dosis yang pas, kepo bisa jadi pemanis interaksi sosial. Bisa mempererat hubungan, membuka percakapan, dan bikin hidup lebih… rame.
Jadi lain kali kamu dibilang kepo, senyumin aja. Kadang, yang kepo itu justru yang paling perhatian — atau paling gak bisa move on. 😏
Tapi inget ya… kepo itu hak, menjaga privasi itu wajib.[]